iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 3.3 (Sunan Giri)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 3.3 (Sunan Giri)
III. Seorang Brahmana Sakti menantang Sunan Giri


Beberapa sumber mengatakan bahwa Sunan Giri atau Raden Paku beristri
dua orang. Yang pertama bernama Dewi Murtasiah dan yang kedua bernama Dewi
Wardah.
Mula-mula Raden Paku berdakwah sambil terus membantu ibunya
menjalankan roda perdagangan. Lama-lama hal ini dirasa kurang efektif,
banyak orang yang ingin berguru kepada Raden Paku tapi Raden Paku sendiri
kadangkala harus berlayar selama beberapa hari ke luar pulau. Murid-murid
Raden Paku tidak dapat belajar dengan tenang karena sering ditinggal gurunya.
Raden Paku bermaksud meninggalkan dunia pelayaran. Hal itu
diutarakan kepada ibu angkatnya. Ibu angkatnya ternyata setuju karena dunia
pelayaran kurang menarik bagi Raden Paku, disamping itu dunia pelayaran
dirasa kurang cocok dengan ilmu yang sudah dipelajarinya di Negeri Pasai. Ia
ingin mendirikan pesantren.
Sebelum Raden Paku mencari tempat untuk membangun pesantren,
terlebih dahulu dia berkhalwat, bertafakkur menyendiri di tempat sunyi.
Daerah tempat Raden Paku itu bertafakkur hingga sekarang masih ada,
dinamakan Desa Kembangan dan Kebomas.
Setelah bertafakkur selama 40 hari 40 malam Raden Paku teringat
pesan ayahandanya sewaktu berada di Negeri Pasai, yaitu Syeh Maulana Ishak.
Sebelum pulang ke Tanah Jawa Raden Paku diberi bekal segumpal tanah oleh
ayahnya. Segumpal tanah itu adalah petunjuk bagi Raden Paku untuk mencari
tempat guna mendirikan pesantren.
Apabila daerah yang dicari tanahnya cocok dengan tanah yang dibawa
maka ditempat itulah dia akan mendirikan pesantren Raden Paku pun mengembara
untuk mencari daerah yang sesuai dengan contoh tanah yang dibawanya dari
Negeri Pasai. Akhirnya Raden Paku sampai di sebuah daerah dataran tinggi
atau perbukitan. Raden Paku merasakan kesejukan dan kedamaian di tempat itu.
Dia mengeluarkan bungkusan kain putih berisi tanah dari Negeri Pasai,
ternyata tanah itu cocok dengan tanah yang diinjaknya.
"Berarti di bukit atau gunung inilah aku harus mendirikan
pesantren," gumam Raden Paku dengan hati lega.
Raden Paku kemudian pulang, memberitahukan hal itu kepada Nyai Ageng
Pinatih. Wanita tua itupun turut merasa senang dan segera membantu segala
hal yang diperlukan untuk mendirikan pesantren.
Tempat Raden Paku mendirikan pesantren itu sekarang terletak di Desa
Sidomukti. Dan pesantren itu dinamakan Giri. Artinya menurut Bahasa
Sansekerta adalah gunung. Raden Paku yang mendirikan pesantren dinamakan
Sunan Giri.
Pada suatu hari di bawah kaki gunung, Raden Paku bertemu dengan
seorang penjual kunir. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri. "Ah,
seandainya kunir yang kupikul ini menjadi emas alangkah senang hatiku, tidak
perlu bersusah payah lagi tiap hari naik dan turun gunung."
Raden Paku berdoa seketika kunir yang dipikul orang itu berubah
menjadi emas berkilauan. Orang itu ternganga dan menjublak ditempatnya,
buru-buru orang itu mengejar Raden Paku yang sudah melangkah naik gunung.
Sampai di pesantren dia bersujud dihadapan Raden Paku ingin menjadi
murid Raden Paku. Kejadian itu hanya salah satu di antara karomah yang
dimiliki oleh Raden Paku.
Makin hari makin banyak orang-orang yang berdatangan untuk berguru
kepada Sunan Giri. Tiga tahun kemudian Pesantren Giri sudah terkenal ke
seluruh Nusantara, karena banyak murid-murid Sunan Giri yang terdiri dari
orang-orang pelayaran. Muridnya ada yang datang dari Madura, Lombok,
Makassar (Ujung Pandang), Kalimantan, Hitu, Ternate (Kep. Halmahera) dan
seluruh Tanah Jawa.
Bahkan menurut BABAD TANAH JAWA murid-murid Sunan Giri itu ada yang
berasal dari Mesir, Turki dan Rum (Romawi).
Demikian terkenalnya Sunan Giri sebagai orang yang berilmu tinggi
sehingga seorang Brahmana sakti dari lereng Gunung Lawu merasa iri. Namanya
Begawan Mintasemeru, muridnya cukup banyak. Karena merasa penasaran suatu
hari Begawan Mintasemeru datang ke Pesantren Giri. Menurut BABAD TANAH JAWA
sedemikian saktinya Begawan Mintasemeru ini sehingga hanya beberapa kejab
mata dia sudah sampai di Gapura Pesantren Giri.
Dua orang penjaga pintu gerbang merasa heran begitu melihat
munculnya Begawan Mintasemeru yang tiba-tiba berada di hadapannya. Bagaikan
hantu saja layaknya.
"Bapraka !" kata Begawan Mintasemeru. Bapraka artinya penjaga pintu
gerbang. "Di mana Gusti Junjunganmu yang disebut Sunan Giri ?"
"Maaf Tuan," kata penjaga itu. "Kanjeng Sunan sedang melaksanakan
shalat dhuhur."
"Apa itu shalat ?" tukas Begawan Mintasemeru. "Cepat beritahukan
kepadanya kalau ada tamu penting."
"Baik Tuan," jawab penjaga pintu gerbang sembari melangkah ke
masjid. Kebetulan pada waktu itu Sunan Giri sudah selesai shalat, juga
selesai berdoa. Penjaga pintu gerbang segera memberitahukan adanya tamu aneh
di depan pintu gerbang.
"Persilahkan saja dia masuk," jawab Sunan Giri.
Begawan Mintasemeru pun masuk, duduk di hadapan Sunan Giri. Setelah
berjabat tangan bertanyalah Sunan Giri, "Wahai, siapakah Tuan ini ? Adakah
sesuatu yang penting sehingga Tuan datang kemari ?"
"Saya, Begawan Mintasemeru, Mahaguru Padepokan Gunung Lawu," jawab
lelaki itu. "Saya datang kemari karena mendengar berita bahwa Tuan selaku
pemimpin perguruan Gunung Giri terkenal lebih sakti dan berilmu tinggi.
Ringkas kata, saya ingin mencoba kesaktian Tuan."
"Sesungguhnya hanya Allah, Tuhan Yang Maha Perkasa," kata Sunan
Giri. "Saya hanya seorang manusia biasa. Tapi bila Tuan Begawan bermaksud
mencoba setitik ilmu Allah, silahkan saja."
"Ada satu tekad saya," kata Begawan Mintasemeru. "Bila adu kesaktian
nanti Tuan yang kalah, maka saya akan memenggal leher Tuan. Tapi bila saya
yang kalah maka saya akan berguru kepada Tuan dengan memasrahkan jiwa dan raga."
"Ya, boleh saja. Silahkan Tuan," sahut Sunan Giri.
Masih dalam posisi duduk bersila, Begawan Mintasemeru melancarkan
serangan jarak jauh. Dia menghantamkan dada Sunan Giri dengan serangkum hawa
panas dari sepasang telapak tangannya. Mula-mula serangan itu tidak nampak
oleh mata, lama kelamaan terlihatlah kobaran api bergulung-gulung yang
membakar tubuh Sunan Giri.
Sunan Giri masih duduk bersila dengan tenang sembari memegang
tasbihnya. Sungguh ajaib, biarpun dihantam kobaran api pakaian Sunan Giri
tiada terbakar. Juga tidak merasa kepanasan.
Sebaliknya, Begawan Mintasemeru mengucurkan keringat akibat
pengerahan aji kesaktian itu. Lebih tercekat lagi Begawan itu, karena
tiba-tiba saja tubuhnya terasa dikelilingi hawa dingin luar biasa yang
menusuk tulangnya.
Buru-buru Begawan Mintasemeru menghentikan serangan. Hawa dingin
yang menyerang tubuhnya pun seketika lenyap. Begawan Mintasemeru lalu
beranjak keluar. Dengan ilmu kesaktiannya dia berlari cepat menuju Gunung
Patukangan. Di atas puncak dia membentuk dua ekor angsa; jantan dan betina,
kemudian dua ekor angsa itu dikubur dan ditimbuni bebatuan. Sesudah itu,
Sang Begawan kembali menghadap Sunan Giri.
"Saya baru saja mengubur hewan bentukan saya sendiri, apakah hewan
yang saya kubur tadi ?" tanya Begawan Mintasemeru.
Sunan Giri berkata, "Yang Tuan kubur tadi adalah sepasang ular naga
jantan dan betina."
Begawan Mintasemeru tertawa berbahak-bahak, mengejek kebodohan Sunan
Giri yang dianggapnya tidak becus menebak hewan bentukannya.
"Tuan nyata sudah kalah," kata Begawan Mintasemeru dengan pongahnya.
"Yang saya kubur tadi adalah sepasang angsa jantan dan betina. Bukan
sepasang ular naga. Jika Tuan tidak percaya silahkan kita lihat berdua !"
Keduanya segera pergi ke Gunung Patukangan. Sunan Giri ternyata
tidak kalah sakti dengan Begawan Mintasemeru, dia juga dapat bergerak cepat
hingga seolah-olah Gunung Patukangan itu bergerak menuju Sunan Giri.
Timbunan batu dibongkar oleh Begawan Mintasemeru, ternyata isinya
adalah sepasang ular naga. Begawan Mintasemeru menjublak di tempatnya saking
kagetnya. Dia tak habis pikir, kenapa sepasang angsa yang dikuburnya berubah
menjadi sepasang ular naga.
Meski demikian Sang Begawan masih tidak mau menyatakan kalah. Dia
membentuk tempayan yang besar berisi air, dalam bahasa Jawanya adalah
buyung. Buyung berisi air tersebut dilempar ke langit dalam keadaan
tengkurap mestinya air tumpah tapi air dalam buyung itu tidak tumpah.
Ketika Buyung berisi air meluncur turun airnya juga tetap utuh.
Namun belum lagi menyentuh tanah, Sunan Giri menudingkan telunjuknya. Buyung
tersebut tiba-tiba terhenti di udara.
"Maaf Begawan Mintasemeru," ujar Sunan Giri. "Sudah waktunya shalat
ashar. Saya hendak mengambil air wudlu."
Habis berkata demikian air dalam buyung yang berhenti di udara itu
tiba-tiba memancar ke bawah. Dan Sunan Giri mempergunakan air itu untuk
berwudlu. Selesai berwudlu air dalam buyung itu tidak lagi mengucur.
Habis berwudlu Sunan Giri langsung kembali ke Pesantren untuk
memimpin shalat jamaah (menjadi imam). Sedang Begawan Mintasemeru masih
terpana menyaksikan buyung yang terhenti di udara. Dia mengerahkan
kesaktiannya untuk membetot atau menurunkan. Buyung itu, namun sia-sia saja,
buyung itu tetap berhenti di udara. Sementara Begawan Mintasemeru sibuk
membetot buyung itu, Sunan Giri sudah selesai shalat dan kembali ke hadapan
Begawan Mintasemeru.
Sunan Giri melambaikan tangannya ke arah buyung, buyung itu turun di
hadapan Sunan Giri dan berubah menjadi air semua, kemudian dilempar ke udara
hingga lenyap tak berbekas
Begawan Mintasemeru kemudian membentuk telur dalam jumlah yang
banyak. Telur tersebut disusun satu persatu ke udara, anehnya telur itu bisa
berdiri tegak, tak ada satupun yang jatuh. Tapi Sunan Giri lebih hebat lagi.
Dia mengambil telur itu satu persatu dari bawah, anehnya telur yang diatas
tidak jatuh.
"Ini yang terakhir !" seru Begawan Mintasemeru sembari melemparkan
jubahnya ke udara, demikian kuat lemparannya hingga tak tampak lagi oleh
pandangan mata.
Sunan Giri melempar terompahnya ke udara, menyusul jubah Begawan
Mintasemeru, malah terompah itu berada di atas jubah Sang Begawan ini
berarti lemparan Sunan Giri jauh lebih tinggi. Ketika jubah itu turun ke
tanah terompah Sunan Giri masih berada di atasnya.
Serta merta Begawan Mintasemeru "ndeprok", menjatuhkan diri berlutut
di hadapan Sunan Giri, "Saya pasrahkan jiwa raga saya kepada Tuan."
"Sesuai dengan tekad Tuan Begawan," kata Sunan Giri, "Tuan bersedia
belajar di pesantren ini bila kalah. Apakah Tuan masih berkenan untuk
belajar ilmu ?"
"Saya tidak akan mengingkari janji, saya bersedia berguru kepada
Tuan," sahut Begawan Mintasemeru.
Demikianlah, pada akhirnya Begawan Mintasemeru diperkenalkan kepada
keluhuran agama Islam. Sunan Giri tidak memaksa sang Begawan untuk masuk
agama Islam, hanya menunjukkan saja kebaikan agama Islam, namun Begawan
Mintasemeru justru tertarik atas sikap Sunan Giri itu dan menyatakan masuk
Islam.
Setelah masa belajarnya selesai, Begawan Mintasemeru diperintahkan
pulang ke lereng Lawu. Disuruh mendirikan pesantren dan menyebarkan agama
Islam disekitar Gunung Lawu.


IV. Giri diserang Majapahit


Di dalam buku BABAD TANAH JAWA disebutkannya Giri Kedhaton, Kedhaton
artinya keraton. Jadi berdasarkan nama tersebut di Giri pernah ada semacam
pemerintahan ulama'. Sunan Giri sendiri sering disebut Prabu Satmaa, dengan
demikian lengkaplah sudah bahwa Sunan Giri itu adalah salah seorang wali dan
seorang raja. Akan tetapi pemerintahan atau kerajaan Giri tidak seperti
kerajaan-kerajaan lain yang hanya mementingkan materi saja. Pemerintahan di
Giri ada karena hubungan solidaritas Islam, hubungan ruh Islam.
Daerah-daerah yang sudah masuk agama Islam otomatis mengakui adanya
kedaulatan Giri Kedhaton.
Disebutkan di dalam buku BABAD TANAH JAWA bahwa raja Majapahit
merasa iri setelah mendengar adanya Giri Kedhaton yang makin lama makin
terkenal, bukan saja di Tanah Jawa melainkan di seluruh Nusantara.
Pada suatu hari, raja Majapahit menyuruh dua orang Senopatinya yang
terkenal lihai, sakti dan selalu berhasil melaksanakan tugasnya membunuh
orang yang harus disingkirkan. Kedua senopati itu namanya Lembusura dan
Keboharja.
Kedua jagoan itu menyusup ke Giri Kedhaton. Mereka bersembunyi di
tempat yang dianggap aman. Di dekat sebuah kolam sembari memperhatikan
orang-orang sekitarnya.
Malam itu Sunan Giri keluar rumah untuk mengambil air wudlu. Baru
saja beliau hendak menyauk air tiba-tiba berkelebat dua bayangan gesit di
hadapannya.
Namun sungguh aneh, ketika Lembusura dan Keboharja hendak maju
menyerang tiba-tiba tubuhnya tidak dapat bergerak, seluruh tulang-tulang
keduanya tiba-tiba seperti dilolosi dalam bahasa Jawanya, kedua senopati itu
nggreweli, gemeter, ndredeg, wel-welan, demikian gambaran yang dituturkan
dalam BABAD TANAH JAWA.
Sunan Giri yang dikaruniai ilmu ladunni sebenarnya sudah tahu maksud
kedua senopati Majapahit itu. Tetapi beliau masih mengajukan pertanyaan
sembari tersenyum, "Seperti Senopati Majapahit. Apa yang kalian lakukan di
tempat ini ?"
Lembusura berkata dengan suara gemetar, "Mohon ampun, kami utusan
dari Majapahit. Diperintah oleh Sang Prabu untuk membunuh Paduka !"
"Kenapa tidak lekas kalian kerjakan ?" sahut Sunan Giri.
Kedua senopati itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di hadapan
Sunan Giri. "Ampun... ampunilah kami wahai Sunan Giri. Seluruh ilmu yang
kami miliki tiba-tiba seperti sirna. Kami tidak berdaya menggerakkan
otot-otot kami."
"Laa haula walaa quwwata illaa billaahi," gumam Sunan Giri. "Tidak
ada daya dan kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah. Jika kalian tidak
sanggup menjalankan tugas dari rajamu, kembalilah pada rajamu katakan apa
yang kalian alami."
Sungguh aneh, ketika kedua senopati itu menuruni bukit Giri
ilmu-ilmu kesaktian yang mereka miliki seperti semula. Mereka segera
meneruskan perjalanan ke Majapahit.
Diceritakan bahwa kedua senopati itu menghadap di istana Majapahit
pada keesokan harinya. Pada waktu itu banyak punggawa kerajaan juga sedang
berkumpul termasuk Mahapatih kerajaan Majapahit.
"Lembusura dan Keboharja !" kata Raja Majapahit. "Apakah kalian
sudah berhasil melaksanakan tugas yang kuberikan ?"
"Ampun Gusti Prabu !" sahut Lembusura sembari membungkuk hormat.
"Kami sudah bertemu dengan Sunan Giri yang disebut Prabu Satmata. Tetapi
seluruh tubuh kami tiba-tiba menjadi lemas dan lumpuh. Seluruh ilmu yang
kami miliki tiba-tiba seperti sirna. Ampun Gusti Prabu, kali ini kami gagal
menjalankan tugas !"
Merah padam wajah Raja Majapahit mendengar laporan kedua senopati
andalannya itu. Baru kali ini raja Majapahit mendapat malu. Lembusura dan
Keboharja mestinya dihukum mati karena tidak bisa melaksanakan tugasnya,
namun mengingat jasa-jasanya maka kedua senopati itu masih diampuni. Raja
Majapahit kemudian memerintahkan Mahapatihnya untuk mengumpulkan bala
tentara Majapahit dalam jumlah besar. Seluruh angkatan perang dari berbagai
Kadipaten dikerahkan, dan dibawah komando Mahapatih Majapahit mereka
menyerang Giri Kedhaton.
Al kisah, prajurit Majapahit yang berjumlah ribuan orang itu sudah
hampir sampai dibawah bukit Giri. Mereka bermaksud mendaki namun hal ini
diketahui oleh Sunan Giri. Tiba-tiba saja dari atas bukit Giri datang air
bah yang sangat deras, prajurit Majapahit yang bermaksud naik ke atas bukit
hanyut terbawa arus air, sebagian tenggelam dan sebagian lagi lari
pontang-panting. Air bah itu menggenangi tambak dan sawah sehingga para
prajurit Majapahit yang masih selamat tak bisa mendaki bukit, mereka
dikepung oleh air bah yang kini berubah seperti samudra.
Berhari-hari mereka mengalami nasib seperti itu sehingga mulai
banyak yang mati kelaparan. Sunan Giri merasa kasihan melihat hal itu.
Beliau kemudian mengeluarkan karomahnya sehingga sebagian tambak yang
berubah jadi laut itu berubah menjadi beras, para prajurit Majapahit bisa
makan dengan kenyang. Ada yang menyebutkan air bah tersebut membawa
umbi-umbian seperti bentul dan ketela. Setelah prajurit Majapahit kenyang
dan kuat mereka membuat jembatan dan akhirnya bisa menyeberangi laut dan
terus mendaki bukit Giri.
Pada saat itu Sunan Giri sedang menulis kitab dengan kalam. Kalam
tersebut dilemparkan ke bawah bukit dan tiba-tiba berubah menjadi keris yang
melayang-layang dan berputar-putar menyerang para prajurit Majapahit. Banyak
prajurit yang mati bergelimpangan, namun sebagian masih terus mendaki bukit.
Sunan Giri mengambil segenggam pasir lalu di lempar ke arah para prajurit
Majapahit. Dengan izin Allah, pasir tersebut berubah menjadi ribuan tawon
yang menyerang para prajurit Majapahit. Para prajurit terpaksa melarikan
diri, sebagian sengaja menceburkan diri ke dalam laut agar tidak diserang
tawon. Sebagian lagi terus melarikan diri pulang ke Majapahit.
Keris yang berasal dari kalam itu dinamakan Keris Kalamunyeng dan
sampai sekarang disimpan di Giri sebagai barang peninggalan atau barang pusaka.
Demikianlah, Majapahit yang bermaksud menggempur Giri ternyata
mengalami kegagalan total.
Menurut sebagian pendapat ahli sejarah, yang menyerang Giri itu
bukan Prabu Brawijaya Kertabhumi yang menjadi ayah Raden Patah. Melainkan
Raja Girindrawardhana yang justru telah menyerang dan merebut kekuasaan
Majapahit dari Prabu Kertabhumi. Jadi Raja Majapahit yang menyerang Giri
Kedhaton itu sebenarnya adalah musuh dari ahli waris kerajaan Majapahit yang
sah yaitu Raden Patah.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia