iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 3.2 (Sunan Giri)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 3.2 (Sunan Giri)
II. Masa Muda Sunan Giri


Bayi yang dilempar ke samudra telah hanyut dibawa arus air laut
sehingga sampai ke selat Bali. Ada sebuah kapal layar yang bermaksud pergi
ke Pulau Bali. Tiba-tiba saja tanpa ada hujan dan badai, kapal itu diam tak
dapat bergerak.
Nahkoda kapal memerintahkan awaknya untuk memeriksa. Dua orang awak
kapal turun ke laut. Setelah diperiksa ternyata kapal tersebut menabrak
sebuah peti.
"Aneh !" gumam si awak kapal. "Hanya sebuah peti, tidak seberapa
besar tapi kapal ini tak dapat bergerak."
Peti berisi bayi putra Dewi Kasiyan itu dibawa ke atas kapal.
Diserahkan kepada Nahkoda, setelah dibuka ternyata berisi seorang bayi
mungil bertubuh montok dan sehat.
Sesungguhnya kapal layar itu milik seorang saudagar kaya raya di
Gresik. Namanya Nyai Ageng Pinatih. Ada yang menyebut Nyai Ageng Ternate.
Juragan Abu Hurairah yang memimpin kapal dagang itu segera mengurus si
jabang bayi.
"Sungguh biadab perbuatan manusia yang melemparkan bayi ini ke
tengah samudra." kata Juragan Abu Hurairah. Kemudian Juragan Abu Hurairah
memerintahkan nahkoda untuk melanjutkan pelayaran ke Pulau Bali.
Lagi-lagi terjadi keanehan, ketika kapal diarahkan ke Pulau Bali,
kapal ini tidak mau bergerak maju. Segala usaha untuk menggerakkannya tidak
membawa hasil. Dengan putus asa akhirnya Juragan memerintahkan kembali ke
Gresik, ajaib, begitu perintah dilaksanakan kapal dapat bergerak kembali.
Secara iseng Juragan Abu Hurairah kemudian mencoba mengarahkan kapal kembali
ke arah timur yaitu ke arah Pulau Bali tapi tiba-tiba saja kapal itu tidak
dapat bergerak. Maka diputuskan untuk kembali ke Gresik dan kapal kembali
bergerak dengan lancar, melaju di atas laut dengan kecepatan tinggi.
Orang-orangpun pada heran mengalami kejadian aneh itu.
Sampai di Gresik hampir saja Abu Hurairah didamprat Nyai Ageng
Pinatih karena Abu Hurairah tidak jadi berdagang ke Pulau Bali. Tapi ketika
Abu Hurairah menyerahkan peti berisi bayi dan menceritakan kejadian aneh
yang menimpanya maka Nyai Ageng Pinatih urung memarahinya.
Nyai Ageng Pinatih adalah seorang janda yang kaya raya, namun
sayang, dia tidak mempunyai anak. Begitu melihat wajah bayi yang dibawa Abu
Hurairah timbul rasa suka dan sayang di hati Nyai Ageng Pinatih.
Diumumkannya kepada semua anak buahnya bahwa bayi itu diambil sebagai anak
angkatnya.
"Karena bayi ini ditemukan di atas Samudra, maka sekarang bayi ini
kunamakan Jaka Samudra." demikian kata Nyai Ageng Pinatih.
Demikianlah, bayi itu kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Nyai
Ageng Pinatih dengan limpahan kasih sayang. Setelah agak cukup umurnya Jaka
Samudra diperintahkan untuk belajar mengaji di Ampeldenta.
Sejak kecil Jaka Samudra sudah mempunyai karomah. Apabila hendak
mengaji ke Ampeldenta yang terletak di Surabaya dia cukup berjalan ke tepi
pantai Gresik, kemudian dia melambaikan tangannya ke daratan Surabaya.
Dengan izin Allah daratan tersebut tiba-tiba mendekat ke pantai Gresik dan
Jaka Samudra tinggal melompatinya saja. Demikian pula bila dia hendak pulang
ke Gresik, dia pergi ke tepi pantai Surabaya dan melambaikan tangannya ke
daratan Gresik maka datanglah daratan Gresik ke Surabaya.
Sunan Ampel yang melihat Jaka Samudra tiap hari pulang pergi dari
Gresik ke Surabaya tak sampai hati, maka dia menyarankan agar Jaka Samudra
mondok atau tinggal saja di Pesantren Ampeldenta. Hal itu diutarakan Jaka
Samudra kepada ibunya, Nyai Ageng Pinatihpun menyetujuinya, sejak itu Jaka
Samudra tinggal di Pesantren Ampeldenta.
Dengan tinggal di Pesantren Ampeldenta, Jaka Samudra lebih banyak
mencurahkan perhatiannya kepada pelajaran yang diberikan Sunan Ampel
kepadanya. Diapun lebih giat dan tekun dalam mempelajari ilmu agama Islam.
Pada suatu malam, ketika Sunan Ampel hendak melakukan shalat tahajud
beliau memeriksa para santri yang tidur. Ketika dia membuka ruang yang
ditempati Jaka Samudra dan kawan-kawannya, beliau terkejut karena ada sinar
mencorong dari salah seorang santri yang sedang tidur. Karena tak dapat
melihat wajah santri yang mencorong wajahnya itu maka sarung santri yang
wajahnya bersinar itu diberi tanda dengan cara mengikat bundelan kecil.
Esok harinya, usai shalat subuh Sunan Ampel memanggil para santrinya.
"Siapa yang waktu bangun sarungnya ada bundelan ?" tanya Sunan Ampel.
Tidak ada yang mengacung kecuali Jaka Samudra, "Saya kanjeng Sunan... "
Sunan Ampel memandang Jaka Samudra dengan penuh seksama. Dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Setelah memberikan pelajaran kepada para santri,
Sunan Ampel memanggil Jaka Samudra seorang diri.
"Jaka Samudra... " kata Sunan Ampel. "Siapa sesungguhnya kedua orang
tuamu ?"
"Orang tua saya... ?" Jaka Samudra bertanya heran. "Bukankah Kanjeng
Sunan sudah mengetahui bahwa saya hanya mempunyai seorang ibu, namanya Nyai
Ageng Pinatih."
"Apakah sejak kecil kau diasuh oleh Nyai Ageng Pinatih ?" tanya
Sunan Ampel.
"Benar Kanjeng Sunan," jawab Jaka Samudra. "Bahkan semenjak saya ini
masih bayi."
"Apakah kau keberatan kalau hari ini kusuruh pulang untuk
memberitahukan kepada ibumu bahwa aku hendak berkunjung ke rumah Nyai Ageng
Pinatih ?"
"Saya sama sekali tidak keberatan Kanjeng Sunan... " jawab Jaka
Samudra dengan penuh hormat.
"Kalau begitu pulanglah ke Gresik sekarang juga." perintah Sunan Ampel.
"Sendika, Kanjeng Sunan," jawab Jaka Samudra, kemudian minta diri
dengan mengucapkan salam. Diapun segera berjalan ke tepi pantai Surabaya.
Tanpa setahu Jaka Samudra perjalanannya diikuti oleh Sunan Ampel.
Maka tahulah Sunan Ampel akan karomah Jaka Samudra yang dapat memanggil
daratan Gresik dengan lambaian tangannya.
"Dia bukan anak sembarangan," gumam Sunan Ampel. "Aku tidak percaya
kalau dia putra kandung Nyai Ageng Pinatih."
Akan halnya dengan Jaka Samudra. Dia sangat terkejut ketika tiba di
rumahnya. Ternyata Sunan Ampel sudah berbincang-bincang dengan ibu
angkatnya. Tahulah Jaka Samudra bahwa Sunan Ampel adalah salah seorang wali
besar yang memiliki karomah yang luar biasa hebatnya. Bukankah Sunan Ampel
masih berkumpul dengan keluarganya tatkala ia berpamit hendak pulang ke
Gresik. Tapi sekarang tiba-tiba sudah berada di rumah ibunya.
Setelah memberi salam Jaka Samudra masuk, dia lebih heran lagi
tatkala Sunan Ampel merangkul dan memeluknya penuh kasih sayang.
"Benar dugaanku, kau adalah putra pamanku sendiri," kata Sunan Ampel
penuh haru.
Sesungguhnya, dari pengakuan Nyai Ageng Pinatih yang menemukan Jaka
Samudra di tengah laut. Sunan Ampel dapat menarik kesimpulan bahwa Jaka
Samudra adalah putra pamannya sendiri yang bernama Syeh Maulana Ishak.
Setelah meninggalkan Blambangan. Syeh Maulana Ishak tidak langsung
ke Samudra Pasai melainkan mampir lebih dahulu di Ampeldenta. Syeh Maulana
Ishak menceritakan pengalamannya sewaktu berdakwah ke Blambangan. Juga
mengenai anaknya yang dibuang ke tengah samudra. Tentang anaknya yang
dibuang ke tengah samudra ini, Syeh Maulana Ishak mendengarnya dari beberapa
awak kapal yang singgah di Blambangan.
Syeh Maulana Ishak memang pamannya Sunan Ampel. Dia adalah adik
ayahanda Sunan Ampel yang bernama Syeh Maulana Ibrahim Asmarakandi.
Sunan Ampel kemudian mengutarakan isi hatinya, "Dahulu sewaktu Paman
Maulana Ishak datang ke Surabaya telah berpesan kepadaku, bahwa bila aku
bertemu dengan anaknya hendaklah memberinya nama Raden Paku."
"Bila demikian mulai sekarang Jaka Samudra kita beri nama Raden Paku
saja sesuai dengan permintaan ayahnya." sahut Nyai Ageng Pinatih.
Sejak saat itu Sunan Ampel menaruh perhatian khusus pada Raden Paku.
Ia diberi pelajaran agama Islam secara sungguh-sungguh, seperti Fiqh,
Tauhid, Al-Qur'an, Hadits, dan sebagainya. Demikian tekunnya Raden Paku
belajar, ditambah kecerdasan otaknya maka setelah menginjak dewasa dia sudah
dapat menyerap hampir seluruh ilmu Sunan Ampel. Dia juga dapat memiliki
karomah yang dimiliki oleh sebagian besar para wali, yaitu berjalan di atas air.
Ketika berguru pada Sunan Ampel itu, Raden Paku sangat akrab dengan
putra Sunan Ampel yang bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Demikian
akrabnya kedua pemuda itu bersahabat sehingga seperti saudara kandung saja.
Dan memang demikian perlakuan Sunan Ampel terhadap Raden Paku, ia dianggap
seperti putra kandung sendiri.
Tibalah saatnya bagi kedua pemuda itu untuk meneruskan pelajaran
agama ke negeri Mekkah. Sunan Ampel menyarankan kedua pemuda itu untuk
singgah di negeri Pasai, tempat Syeh Maulana Ishak berada.
"Di negeri Pasai, ayahmu itu menjadi seorang guru besar, namanya
sangat terkenal. Tak sulit untuk mencarinya." demikian kata Sunan Ampel.
Benar kata Sunan Ampel, nama Syeh Maulana Ishak sangat terkenal di
negeri Pasai. Tanpa menemui kesukaran kedua pemuda itu dapat bertemu
dengannya ketika tiba di negeri Pasai.
Dengan penuh haru, Syeh Maulana Ishak memeluk putra kandung yang
belum pernah dilihatnya sejak lahir. Syeh Maulana Ishak menceritakan
pengalamannya sewaktu berdakwah ke Blambangan. Betapa sedih dan sakit hati
Raden Paku mendengar kisah itu, terutama bila mengenang nasib ibunya. Hancur
luluh rasa hatinya.
"Kita adalah pengikut Nabi Muhammad SAW yang terkenal akan
kesabarannya. Nabi pernah disakiti hatinya oleh Hindun dengan cara membunuh
paman Nabi yang bernama Hamzah. Hamzah dibunuh dengan cara yang keji dan
brutal, sesudah mati jantungnya masih dicongkel keluar, namun Nabi tidak
pernah membalas dendam." demikian kata Syeh Maulana Ishak. "Maka kaupun
selaku ummat Nabi Muhammad SAW, jangan sekali-kali punya niat untuk membalas
dendam kepada kakekmu Prabu Menak Sembuyu. Curahkan segala perhatianmu untuk
menuntut ilmu di negeri Pasai ini. Sementara ini jangan pergi ke Mekkah dulu."
Raden Paku menurut, dia belajar ilmu kepada Syeh Maulana Ishak, juga
kepada para ulama' terkenal yang banyak bermukim di negeri Pasai, baik
ulama' yang berasal dari Bagdad, Mesir maupun dari Iran.
Tiga tahun Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim belajar ilmu agama di
negeri Pasai. Berbagai masalah agama telah dikuasainya. Umpamanya untuk
bekal berdakwah sudah dianggap cukup. Pribadi kedua anak muda itu tampak
jauh lebih matang. Terutama setelah mereka belajar secara langsung tentang
ilmu Tauhid dan Tasawwuf kepada para guru Tasawwuf yang konsekwen dan sangat
menjiwai ilmunya.
Raden Paku menerapkan ilmu yang dipelajarinya itu dalam kehidupan
sehari-hari. Karena kecemerlangan otaknya maka banyak orang mengatakan bahwa
Raden Paku memiliki ilmu ladunni, walaupun usianya masih muda sudah tampak
sebagai seorang ulama' besar, berpribadi agung dan berwibawa.
Karena prestasi yang dicapainya itu maka salah seorang gurunya
memberinya julukan Maulana Ainul Yaqin. Gelar ini sebenarnya hanya pantas
diberikan kepada orang yang sudah tua.
Ada yang mengatakan sesudah belajar di negeri Pasai, kedua pemuda
itu meneruskan perjalanannya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima yaitu
naik haji. Ada yang mengatakan setelah belajar di negeri Pasai kedua pemuda
itu langsung pulang ke Tanah Jawa.
Raden Paku pulang ke Gresik. Sedang Raden Maulana Makdum Ibrahim
pulang ke Ampeldenta tapi kemudian menetap di Tuban. Di Tuban, Raden Maulana
Makdum Ibrahim berdakwah dengan menggunakan kesenian tradisional rakyat
yaitu gending yang disebut Bonang, sehingga beliau kemudian lebih dikenal
sebagai Sunan Bonang.
Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin pulang ke Gresik. Membantu usaha
dagang ibu angkatnya sembari berdakwah. Pada suatu ketika Raden Paku
diperintah ibunya mengawal kapal dagang milik ibu angkatnya itu. Tujuannya
ke Pulau Banjar atau Kalimantan. Pemimpin rombongan adalah Juragan Abu Hurairah.
Tiga buah kapal penuh dengan muatan barang menuju Banjar, membawa
dagangan milik Nyai Ageng Pinatih. Biasanya, bila dagangan yang dibawa dari
Gresik habis terjual, kapal-kapal itu akan memuat barang dagangan dari
Kalimantan yang dapat dijual di Gresik.
Sampai di Kalimantan, Raden Paku meminta dua buah kapal yang berisi
barang dagangan itu untuk dijualnya sendiri. Sedang Juragan Abu Hurairah
hanya menjual barang dagangan satu kapal layar.
"Berapa lama biasanya Paman Abu Hurairah menjual barang tiga kapal
?" tanya Raden Paku.
"Sepuluh hari biasanya sudah habis dan kita bisa kembali ke Gresik."
jawab Abu Hurairah.
Raden Paku kemudian mengurus barang dagangannya. Dari kejauhan
Juragan Abu Hurairah merasa heran. Mengapa barang dagangan Raden Paku tampak
laris benar. Hanya beberapa saat setelah barang dagangan itu digelar sudah
tinggal separo. Sedang barang dagangan Abu Hurairah belum ada seperempat
yang laku.
Sore harinya saat beristirahat Juragan Abu Hurairah bertanya kepada
Raden Paku, "Beberapa anak buah saya melihat bahwa barang dagangan Raden itu
laris karena Raden menghutangkannya kepada penduduk Banjar, apakah itu benar
begitu ?"
"Benar Paman," jawab Raden Paku, "Saya memberi waktu dalam tempo
sepuluh hari harus dibayar."
"Ah, bagaimana ini ?" seru Abu Hurairah cemas. "Kami sudah puluhan
tahun berdagang tidak pernah mempergunakan cara seperti itu. Bila dalam
tempo sepuluh hari para penduduk Banjar belum membayar tentu kita akan kena
marah besar oleh Nyai Ageng Pinatih."
"Jangan kuatir Paman, aku yang bertanggung jawab atas semua ini,"
kata Raden Paku dengan tenang.
Setelah sepuluh hari, ternyata tidak ada satupun penduduk pribumi
yang membayar hutangnya. Juragan Abu Hurairah dengan wajah pucat mendatangi
Raden Paku.
"Raden... kita pasti akan dimarahi oleh Nyai Ageng," keluh Juragan
Abu Hurairah. "Besar kemungkinannya saya akan dipecat akibat membiarkan
perbuatan Raden ini."
Wajah Juragan Abu Hurairah tampak pucat, sebaliknya Raden Paku masih
tampak tenang-tenang saja. Berkatalah Raden Paku kepada Juragan Abu Hurairah
dan anak buahnya, "Bila barang-barang yang dihutang penduduk tidak dibayar
itu tandanya harta ibu saya masih bercampur dengan harta fakir miskin,
hartanya tidak bersih karena zakat yang dikeluarkan masih kurang. Biarlah
uang yang dihutang penduduk tidak kembali sebesar ganti dari zakat yang
harus dikeluarkan oleh ibu angkat saya."
"Ya, bisa jadi begitu," sahut Juragan Abu Hurairah. "Tapi setidaknya
kita harus membicarakannya lebih dahulu dengan Nyai Ageng. Kalau kita tak
bisa membawa barang dagangan dari Pulau Banjar ini tentu Nyai Ageng akan
marah besar sekali. Padahal uang yang terkumpul tidak cukup untuk membeli
barang sebanyak tiga muatan kapal. Hanya cukup untuk muatan satu kapal."
"Saya yang bertanggung jawab atas semua itu." kata Raden Paku.
"Lalu... bagaimana dengan dua kapal yang kosong itu ?" tanya Juragan
Abu Hurairah. "Kita tidak biasa berlayar dengan muatan kosong. Kapal yang
kosong bisa tenggelam dilempar ombak besar."
Raden Paku terdiam beberapa saat, kemudian berkata, "Isilah karung
dan keranjang-keranjang yang kita miliki dengan batu dan pasir agar kapal
kita tidak tenggelam."
Akhirnya Juragan Abu Hurairah menuruti apa kata Raden Paku. Dua
perahu besar yang kosong diberi muatan batu dan pasir. Setelah itu mereka
diperintahkan Raden Paku untuk kembali ke Gresik.
Sampai di Gresik, Juragan Abu Hurairah buru-buru melaporkan
perbuatan aneh Raden Paku tersebut. Tepat dugaan Abu Hurairah, Nyai Ageng
kontan marah-marah, bukan saja kepada Raden Paku tapi juga kepada Abu
Hurairah itu sendiri.
Raden Paku sendiri hanya terdiam saja tatkala ibu angkatnya itu
dengan wajah merah padam memarahinya. Dia dikatakan sebagai anak muda tak
tahu diri, bodoh dan tidak sehat akalnya. Barulah setelah ibu angkatnya itu
selesai bicara Raden Paku mendongakkan kepala menatap wajah ibu angkatnya.
"Jangan tergesa-gesa bu," kata Raden Paku. "Juragan Abu Hurairah
tidak bersalah. Memang saya yang menyuruh para awak kapal untuk mengisi
karung dan keranjang dengan batu dan pasir. Ini untuk menjaga agar kapal
tidak oleng kena ombak ."
"Diam kau !" kata Nyai Ageng Pinatih. "Anak tak tahu diri, menyesal
aku menyuruhmu mengawal Juragan Abu Hurairah ke Pulau Banjar. Buat apa batu
dan pasir itu. Hayo perintahkan kepada para awak untuk membuangnya ke laut !"
"Sabar bu... " kata Raden Paku dengan suara merendah. "Sebaiknya ibu
lihat dulu barang-barang itu. Suruhlah para awak kapal membuka karung dan
tutup keranjang lebih dahulu."
Nyai Ageng Pinatih buru-buru naik ke kapal. Diperintahkannya para
awak kapal membuka karung dan keranjang yang tadinya diisi dengan batu dan
pasir. Betapa terkejutnya Nyai Ageng Pinatih, setelah karung dan keranjang
itu dibuka ternyata berisi barang-barang berharga yang dibutuhkan masyarakat
Gresik dan orang-orang Jawa pada umumnya, seperti rotan, damar, permata dan
lain sebagainya.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Nyai Ageng Pinatih menemui Raden Paku
untuk meminta maaf. Tahulah sekarang dia, bahwa anak angkatnya itu bukan
orang sembarangan. Bila dihubungkannya peristiwa-peristiwa aneh yang
senantiasa dialami anak angkatnya itu, yaitu sejak diketemukannya di tengah
samudra maka sadarlah Nyai Ageng Pinatih, bahwa Raden Paku kelak akan
menjadi orang yang luhur derajadnya. Raden Paku tentulah dapat meniru jejak
gurunya yaitu Sunan Ampel yang terkenal sebagai anggota Wali Songo. Sejak
itu Nyai Ageng Pinatih menjadi insyaf. Dia menjadi giat melaksanakan
perintah agama, giat mengorbankan hartanya untuk menyiarkan agama Islam.
Raden Paku sendiri semakin giat menyebarkan ajaran agama Islam di
kalangan masyarakat Gresik. Dengan bantuan dan nasehat Sunan Ampel serta
Sunan Bonang juga bantuan materi dari Nyai Ageng Pinatih maka Islam semakin
berkembang pesat di daerah Gresik.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia