iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 4 (Sunan Bonang)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 4 (Sunan Bonang)
Sunan Bonang


Sebagaimana disebutkan pada posting sebelumnya, Sunan Bonang adalah
putra Sunan Ampel. Beliau adalah putra keempat dari perkawinan Sunan Ampel
dengan Dewi Candrawati binti Brawijaya Kertabhumi. Dengan demikian Sunan
Bonang yang bernama asli Raden Makdum Ibrahim itu masih cucu Raja Majapahit.
Sesudah belajar ilmu di Negeri Pasai bersama Raden Paku, Raden
Makdum Ibrahim berdakwah di daerah Tuban dengan menggunakan kesenian rakyat
yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis gending atau besi atau kuningan
yang ditonjolkan di bagian tengahnya. Bila tonjolan itu dipukul dengan kayu
lunak akan timbul suara merdu. Pada waktu itu bunyi demikian ini adalah
sangat mengasyikkan terdengar di telinga para penduduk. Lebih-lebih yang
membunyikan Bonang adalah seorang waliyullah, maka bunyinya mempunyai
pengaruh luar biasa sehingga banyak penduduk yang berbondong-bondong ingin
menyaksikan dan mendengar dari dekat.
Banyak penduduk yang ingin belajar membunyikan bonang semerdu Raden
Makdum Ibrahim, mereka juga ingin belajar melagukan tembang (nyanyian) yang
diciptakan Raden Makdum Ibrahim sendiri. Nyanyian itu berisikan pokok-pokok
ajaran agama Islam. Jadi tanpa terasa para penduduk Tuban belajar agama
Islam melalui kesenian mereka sendiri.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada
di Tuban, Jepara, Bawean, maupun Madura. Karena kepandaiannya membunyikan
kesenian bernama bonang maka Raden Makdum Ibrahim kemudian disebut Sunan Bonang.
Sunan Bonang terkenal sebagai ulama besar yang berilmu tinggi,
sabar, dan santun terhadap sesama manusia walaupun berbeda agama.
Pada suatu hari ada seorang Brahmana yang mendengar kehebatan dan
ketinggian ilmu Sunan Bonang, Brahmana itu bermaksud menantang Sunan Bonang
untuk mengadu ilmu. Dia berlayar ke Tuban. Tapi ketika perahunya mendekati
pantai Tuban tiba-tiba diserang ombak besar. Perahu sang Brahmana terbalik,
puluhan kitab tebal-tebal yang sedianya dibawa untuk berdebat dengan Sunan
Bonang tenggelam ke dasar laut.
Brahmana itu sendiri terlempar ke tepi pantai dalam keadaan pingsan.
Di tepi pantai dia kebingungan setelah sadarkan diri. Tak tahu dimanakah dia
sekarang berada.
Brahmana itu celingukan ke sana ke mari. Suatu ketika dilihatnya
seorang berjubah putih berjalan sembari membawa tongkat. Brahmana itu
mendekat dan bertanya, "Tuan apakah nama tempat ini ?"
Orang berjubah putih itu menancapkan tongkatnya ke tanah, ketika
dicabut lagi tiba-tiba ada air mengucur di lubang tongkat itu. Makin lama
air yang muncrat semakin banyak. Tanpa sadar si Brahmana mengucapkan "Tuban"
maksudnya metu-banyu atau keluar air.
"Ya, daerah ini memang dinamakan Tuban," sahut orang yang berjubah
putih.
"Oh, jadi saya sudah sampai di Tuban," gumam orang itu. "Dimanakah
saya dapat bertemu dengan Sunan Bonang ?"
"Untuk apa Tuan mencari Sunan Bonang ?" si orang berjubah putih
balik bertanya.
"Saya akan mengajaknya adu kepandaian, tapi sayang kitab-kitab yang
saya bawa telah tenggelam ke dasar laut," kata orang itu.
"Tuan masih menginginkan kitab-kitab itu ?" tanya orang berjubah putih.
"Ya, tentu saja. Tapi sudah tidak mungkin. Siapa yang sanggup
mengambil kitab itu dari dasar samudra ?" sahut sang Brahmana.
Orang berjubah putih itu menudingkan tongkatnya ke arah lubang air
yang memancar tiba-tiba muncullah kitab-kitab milik sang Brahmana yang
tadinya tenggelam di dasar samudra.
"Inikah kitab-kitab Tuan ?" tanya si orang berjubah putih.
"Benar, itu adalah kitab-kitab saya." sahut orang itu dengan wajah
penuh tanda tanya. Benar-benar tak disangkanya apabila orang berjubah putih
itu dapat mengambil kitab-kitabnya yang tenggelam. Hanya orang berilmu
tinggi dan dekat kepada Tuhan yang dapat melakukannya.
"Siapakah sebenarnya Tuan ini ?" tanya sang Brahmana.
"Orang menyebut saya Sunan Bonang." kata orang berjubah putih yang
memang Sunan Bonang sendiri adanya.
Serta merta sang Brahmana menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sunan
Bonang.
"Jangan bersujud pada sesama manusia, itu tidak boleh," kata Sunan
Bonang.
"Saya mohon maaf karena mempunyai niat buruk terhadap Kanjeng Sunan.
Sudilah menerima saya sebagai murid."
Demikianlah, pada akhirnya sang Brahmana menjadi murid Sunan Bonang.
Dan ikut menyebarkan agama Islam di daerah asalnya.
Ada suatu keanehan. Makam Sunan Bonang ada di dua tempat, satu di
sebelah barat Masjid Agung Tuban. Satunya lagi berada di Pulau Bawean.
Kisahnya demikian, Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean. Oleh murid-muridnya
yang berada di Pulau Bawean bermaksud dimakamkan di Bawean. Tetapi
murid-murid yang berasal dari Tuban tidak setuju. Pada malam harinya penjaga
jenazah Sunan Bonang disirep dengan sebuah ilmu ghaib sehingga penjaga itu
tertidur lalu jenazah Sunan Bonang di bawa ke perahu menuju Tuban.
Anehnya, esok harinya ternyata jenazah Sunan Bonang yang di Bawean
masih ada. Hanya kain kafan yang tadinya ada dua sekarang tinggal satu.
Jenazah yang dibawa ke Tuban juga masih ada. Hanya saja kain kafan
yang tadinya ada dua dan dikenakan di tubuh Sunan Bonang sekarang tinggal satu.
Akhirnya jenazah Sunan Bonang dikuburkan di dua tempat. Di Tuban dan
di Pulau Bawean. Tetapi yang banyak dikunjungi orang adalah makamnya yang
ada di Tuban.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia