iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 5.2 (Sunan Kalijaga)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 5.2 (Sunan Kalijaga)
Sejak saat itu Ki Pandanarang berubah sama sekali. Dia menjalankan
apa yang diperintahkan Sunan Kalijaga. Harta kekayaannya digunakan membangun
masjid dan menyiarkan agama Islam. Lama kelamaan datanglah waktunya untuk
menyusul Sunan Kalijaga ke Gunung Jabalkat. Di antara delapan istrinya hanya
satu yang memaksanya ikut.
"Baiklah Diajeng," kata Ki Pandanarang. "Kau boleh ikut. Tapi jangan
membawa harta, itu larangan guruku, sebab harta hanya menjadi penghalang
saja. Dan pakailah pakaian yang berwarna putih."
Istri Ki Pandanarang menurut, dia mengenakan pakaian serba putih
seperti Ki Pandanarang kemudian keduanya berangkat menuju Gunung Jabalkat
dengan berjalan kaki. Masing-masing membawa tongkat. Ki Pandanarang membawa
tongkat biasa, tapi istrinya membawa tongkat bambu yang lubangnya diisi
dengan emas dan permata. Ki Pandanarang sebenarnya mengetahui hak ini tapi
sengaja diam saja.
Karena Jabalkat itu jauh maka istri Ki Pandanarang seringkali
kelelahan dan tertinggal di belakang. Tiba-tiba istri Ki Pandanarang di
cegat tiga perampok. Karena lebih sayang jiwanya maka istri Ki Pandanarang
menyerahkan tongkatnya yang berisi emas dan permata, kemudian berlari cepat
sambil berteriak keras, "Kakangmas ada tiga orang berbuat salah !"
Tempat istri Ki Pandanarang itu dirampok selanjutnya dinamakan
SALATIGA hingga sekarang ini.
Diceritakan dalam BABAD TANAH JAWA, ada seorang perampok lain yang
belum mendapatkan mangsa. Namanya Ki Sambangdalan, dia bertemu dengan tiga
perampok tadi.
"Kami hanya sempat merampok istrinya, suaminya belum kami "makan",
tidak sempat ! Hahahahahah... !" kata tiga perampok itu.
Ki Sambangdalan segera mengejar Ki Pandanarang dengan mengerahkan
seluruh tenaganya.
Sementara itu istri Ki Pandanarang sudah dapat menyusul suaminya. Ki
Pandanarang berkata, "Bukankah sudah kukatakan, jangan membawa harta, itu
larangan guruku. Sekarang kau baru tahu rasa. Berjalanlah lebih dahulu
supaya tidak diganggu perampok."
Istri Ki Pandanarang menurut, kini dia berjalan di depan. Sementara
itu Ki Sambangdalan sudah dapat menyusul Ki Pandanarang. Dengan suara keras
dia membentak, "Serahkan hartamu atau aku akan menghajarmu sampai babak belur !"
"Aku tak mempunyai harta," jawab Ki Pandanarang.
Ki Sambangdalan tak percaya, direbutnya tongkat yang dibawa Ki
Pandanarang. Tongkat itu terbuat dari kayu biasa, tidak ada lubangnya dan
tidak ada emas atau permata pada tongkat itu. Ki Sambangdalan menjadi marah.
Sementara Ki Pandanarang meneruskan langkahnya.
Ki Sambangdalan mengikutinya dari belakang sembari berkata
berkali-kali. "Serahkan hartamu atau kau kuhajar sampai babak belur !"
"Kau ini sepertinya bukan manusia, kau keras kepala seperti kambing
!" ujar Ki Pandanarang dengan hati kesal.
Ki Pandanarang terus berjalan hingga sampai di sebuah sungai berair
jernih. Ki Sambangdalan terus mengikuti sambil mengancam dan menakut-nakuti.
Ki Pandanarang tenang saja menyeberangi sungai itu. Sebaliknya Ki
Sambangdalan merasa takut masuk ke dalam air. Di atas permukaan air
dilihatnya sebuah bayangan aneh, seorang manusia berkepala domba. Ki
Sambangdalan memeriksa dirinya, ternyata benar, dia telah berubah, kepalanya
tidak lagi berupa manusia tapi kepala domba atau kambing.
"Aduh biyung ! Tobat aku, ampuuuun... !" ratap Ki Sambangdalan.
Karena merasa takut dia terus mengikuti Ki Pandanarang kemanapun pergi.
Akhirnya Ki Pandanarang dan istrinya sampai di Tembayat. Dia naik ke
Gunung Jabalkat di sana ada masjid kecil dan sebuah Jun atau Padasan tempat
berwudlu. Jun tersebut seperti kebanyakan yang terdapat di langgar-langgar
tetapi sangat besar. Mulutnya berada di bawah.
Ki Pandanarang berkata kepada Ki Sambangdalan, "Isilah Jun ini
sampai penuh nanti kau akan kembali seperti semula. Tapi ingat jangan kau
sumbat mulut
Jun ini."
Karena di atas bukit Jabalkat tidak ada air maka Ki Sambangdalan
harus mengambilnya dari lembah, sehingga bila ia sampai di atas bukit air
dalam Jun itu telah habis mancur keluar. Siang malam Ki Sambangdalan
bekerja, tak berhenti, tak mengeluh karena ingin menebus dosa dan ingin
kembali seperti manusia kebanyakan. Setelah tiga puluh lima hari Sunan
Kalijaga datang.
Ketiga orang tadi menyambutnya dengan gembira. Ki Sambangdalan yang
kepalanya berupa domba dikembalikan seperti semula. Jun yang tadinya kosong
tiba-tiba penuh dengan air secara ghaib. Sunan Kalijaga membuat mata air di
bukit itu. Ketiga orang itu kemudian dididik ilmu Sangkan-paraning dumadi
atau asal-usul dan tujuan segala makhluk. Setelah selesai Sunan Kalijaga
kembali ke Kadilangu. Ki Pandanarang menjadi penyebar agama di Tembayat yang
kemudian dikenal sebagai Sunan Bayat. Sedang Ki Sambangdalan diberi julukan
Syeh Domba.
Pada suatu ketika Sunan Bayat menyamar sebagai penduduk biasa. Ia
pergi ke Desa Wedi, menjadi pelayan Ki Tasik dan Nyai Tasik. Suami istri itu
berjualan kue srabi ke Pasar Wedi. Sunan Bayat selalu mengantarkannya
sembari memikul segala sesuatu yang diperlukan.
Pada suatu hari pasar ramai sekali. Banyak orang yang membeli kue
srabi, karena tergesa-gesa waktu berangkat si pelayan tidak membawa kayu
yang cukup, sehingga pada suatu ketika kayunya habis sementara orang yang
antri hendak membeli kue srabi masih banyak.
"Sekarang bagaimana akalmu ?" kata Nyai Tasik dengan hati masgul.
"Kayu tidak dibawa semua. Dengan apa kita membuat api untuk memasak kue
srabi, dengan tanganmukah ?"
Pelayan itu tanpa berkata suatu apa tiba-tiba memasukkan tangannya
ke dalam tungku. Tangan itu mengeluarkan api sehingga Nyai Tasik dapat
melayani para pembelinya dengan cepat. Keajaiban itu segera tersiar ke
seluruh pasar. Orang berbondong-bondong ingin menyaksikan tangan yang dapat
mengeluarkan api. Akhirnya dagangan Nyai Tasik habis dan segera pulang ke rumah.
Sampai di rumah diceritakannya kejadian di pasar itu kepada
suaminya. Ki Tasik terkejut. Sadarlah dia bahwa sesungguhnya pelayannya itu
adalah seorang wali yang sedang menyamar. Suami istri itu segera minta maaf.
Mereka masuk Islam beserta seluruh keluarganya. Makin lama agama Islam
berkembang di tempat itu.


III. Empu Supa


Empu Supa adalah putra salah seorang pembesar Majapahit yang bernama
Tumenggung Supadrinya. Empu Supa masih berusia muda tapi mempunyai ilmu yang
tinggi, baik ilmu kesaktian maupun ilmu membuat keris. Kalau membuat keris
dia cukup memijat-mujatnya saja.
Empu Supa senang mengembara. Sampai pada suatu ketika dia bertemu
dengan Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai Ki Dalang Kumendung. Sunan
Kalijaga memberinya segenggam besi untuk dibuat keris. Mula-mula Empu Supa
menganggap remeh besi itu, namun sewaktu dikerjakan atau dibentuk menjadi
keris tahulah dia bahwa besi itu bukan besi sembarangan. Jangan kata hanya
dengan memijat-mijatnya, sudah dibakarnya besi itu tetap tak mau meleleh
sehingga Empu Supa tak dapat membentuknya menjadi keris.
Sejak itu Empu Supa sadar bahwa Ki Dalang Kumendung itu orang sakti
dan dia ingin menjadi muridnya. Setelah bertemu dengan Sunan Kalijaga lagi
dia mengutarakan maksudnya. Atas bantuan Sunan Kalijaga dia dapat membuat
keris dari besi yang tak dapat meleleh tadi. Selanjutnya dia diangkat
sebagai murid Sunan Kalijaga, masuk agama Islam dan menjadi mukmin yang taat
menjalankan perintah agama.
Empu Supa kemudian dijodohkan dengan adik Sunan Kalijaga yang
bernama Dewi Rasawulan, dan tinggal di Kadipaten Tuban.
Pada suatu hari Empu Supa dan istrinya berkunjung ke Majapahit. Pada
saat itu Majapahit sedang dilanda wabah penyakit. Ratu Dwarawati dan
keluarga keraton lainnya banyak yang jatuh sakit. Bahkan kedua Empu
Majapahit yang berusia lanjut, yang terkenal akan kesaktiannya juga jatuh
sakit yaitu Tumenggung Supadriya dan Tumenggung Supagati. Padahal malam
kedatangan Empu Supa itu adalah giliran jaga Empu Supadriya dan Empu
Supagati di keraton Majapahit. Terpaksa Empu Supa menggantikan giliran jaga
ayahnya. Sedang Empu Supagati diwakili anaknya yang bernama Ki Digja. Empu
Supa membawa senjata andalannya yaitu Keris Kyai Sengkelet. Sedang Ki Digja
membawa Keris Sabuk Intan.
Di tengah malam Empu Supa masih terjaga, sedang Ki Digja sudah
tertidur pulas karena pada saat itu memang udara sangat dingin dan seperti
sengaja disirep orang.
Tiba-tiba sepasang mata Empu Supa melihat cahaya merah keluar dari
kamar pusaka Keraton Majapahit. Empu Supa terus memperhatikan kilatan cahaya
itu, ternyata adalah Keris Condongcampur, pusaka andalan Kerajaan Majapahit.
Keris itu melayang-layang di udara, mengitari gapura, pendapa dan halaman
istana untuk menyebar teluh.
Empu Supa teringat pesan gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Dia segera
mengeluarkan keris pusakanya Kyai Sengkelet. Keris itu meluncur ke udara
menyusul dan menyerang Kyai Condongcampur. Keduanya bertempur di udara
dengan serunya. Akhirnya Kyai Condongcampur kalah diterjang oleh Kyai
Sengkelet berkali-kali. Pusaka Kerajaan Majapahit itu kembali ke tempatnya
semula.
Tepat dengan masuknya Kyai Condongcampur ke dalam kamar pusaka
kerajaan, Prabu Brawijaya terbangun dari tidurnya. Satu-satunya orang yang
dilihatnya masih membuka mata hanyalah Empu Supa. Lainnya tertidur pulas.
Tidak lama kemudian bangunlah Ratu Dwarawati dalam keadaan segar bugar.
Permaisuri itu telah sembuh seperti sedia kala. Esok harinya semua orang
yang menderita sakit mendadak sembuh, wabah penyakit di Majapahit telah
sirna, semua itu atas jasa Empu Supa, murid Sunan Kalijaga.


IV. Sunan Geseng


Menurut BABAD TANAH JAWA, Sunan Geseng itu nama aslinya adalah Ki
Cakrajaya. Pekerjaannya menyadap nira untuk dijadikan gula. Pada suatu hari
dia bertemu dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga tahu kebiasaan Ki
Cakrajaya, yaitu sesudah selesai bekerja Ki Cakrajaya pasti duduk
beristirahat sambil menembang, melantunkan syair. Maka Sunan Kalijaga
memberinya tembang yang berisikan dzikir kepada Allah.
Pada suatu hari terjadilah keajaiban, gula yang dibuat Ki Cakrajaya
berubah menjadi emas. Dia heran bukan kepalang. Namun segera teringat kepada
Sunan Kalijaga yang telah mengajarnya dzikir. Maka dia segera mencari Sunan
Kalijaga. Setelah bertemu dia mohon dijadikan murid.
Untuk menguji keteguhan hatinya, Sunan Kalijaga menyuruh Ki
Cakrajaya menungguinya di tengah hutan. Dengan patuh Ki Cakrajaya
mengerjakan perintah Sunan Kalijaga. Dia bersujud selama setahun penuh
sehingga tubuhnya sudah tidak tampak lagi, hutan itu telah ditutupi padang
alang-alang dan semak belukar.
Pada suatu ketika Sunan Kalijaga teringat pada calon muridnya itu.
Dia dan para muridnya yang lain segera mencari Ki Cakrajaya. Karena sukar
untuk mencari Ki Cakrajaya maka daerah tempat Ki Cakrajaya dahulu bersujud
di bakar. Setelah seluruh alang-alang hangus terbakar tampaklah tubuh Ki
Cakrajaya yang masih bersujud menghadap ke barat. Pakaiannya telah hancur
tapi tubuhnya tetap utuh.
Sunan Kalijaga membangunkannya, Ki Cakrajaya diwejang ilmu yang
tinggi-tinggi dan akhirnya diberi nama Sunan Geseng. Geseng artinya gosong,
habis terbakar. Sunan Geseng menjadi salah seorang penyebar agama Islam di
Jawa Tengah. Demikian menurut BABAD TANAH JAWA GALUH MATARAM.
Lain lagi menurut Kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathutah yang tulisannya
dilanjutkan oleh Syeh Maulana Maghribi, dan diterjemahkan oleh KH. Dachlan
Abdul Qohar bahwa Sunan Geseng itu nama aslinya adalah Maulana Muhammad
Al-Maghribi berasal dari Maroko yang berdakwah dan wafat di Tanah Jawa.
Karena orang Jawa kesukaran menyebut Syeh Muhammad Al-Maghribi maka
mereka menyebutnya Ki Ageng Gribig. Ada juga yang menyebutnya Sunan Geseng.
Kisahnya demikian, pada suatu hari Syeh Maghribi mendekati patung
yang disembah orang banyak. Sebagian dari penyembah patung itu berkata,
"Jangan dekat-dekat dengan Tuhan kami, nanti kamu celaka."
"Lho !? Patung ini khan buatan orang !?" kata Syeh Maghribi.
"Mengapa kalian menyembahnya ?"
"Kuperingatkan, jangan mendekatinya dan jangan menghinanya. Kalau
kau menghinanya pasti akan mendapatkan kesusahan. Tapi kalau kau
menyembahnya pasti akan mendapat kebahagiaan." kata penyembah patung itu.
"Aku tidak percaya, masak patung macam ini bisa membuat susah dan
senang orang," kata Syeh Maghribi. Lalu tangannya memegang leher patung itu.
Hanya dengan memegang lehernya saja kepala patung itu mendadak pecah
berantakan, dan Syeh Maghribi tidak mendapat kecelakaan. Tubuhnya tetap
sehat segar bugar. Karena tidak membawa akibat apa-apa maka sebagian
penyembah berhala itu kemudian ingin berguru kepada Syeh Maghribi. Tapi ada
juga sebagian yang masih tetap kafir malah ingin membunuh Syeh Maghribi.
Mereka selalu mencari-cari kesempatan untuk menghabisi jiwanya.
Pada suatu hari Syeh Maghribi tertidur di bawah pohon yang rindang.
Demikian asyiknya dia tertidur sehingga tak merasa bila beberapa orang yang
membencinya melempari batu berkali-kali. Tubuh Syeh Maghribi sampai tak
kelihatan lagi karena tertutup oleh batu yang dilemparkan musuh-musuhnya.
Mereka mengira tentulah Syeh Maghribi sudah mati tertimbun batu.
Tetapi tiba-tiba bangunlah Syeh Maghribi dari timbunan batu-batu itu
dalam keadaan segar bugar. Melihat kesaktian Syeh Maghribi itu makin
banyaklah orang yang masuk Islam, tapi tetap ada saja orang yang membenci
dan bermaksud membunuhnya.
Pada kesempatan lain, sesudah shalat dhuhur, Syeh Maghribi tertidur
di bawah pohon lagi. Barangkali hal itu memang disengajanya untuk memberi
kesempatan kepada orang-orang yang membencinya.
Ketika dia tertidur pulas tubuhnya ditimbuni rumput kering kemudian
diberi tumpukan jerami kering pula dan dibakar. Sejak api dinyalakan hingga
padam Syeh Maghribi tidak bangun dari tidurnya. Tak lama setelah api padam
bangunlah beliau dalam keadaan seperti semula. Hanya pakaiannya di sana sini
banyak yang terkena abu, tapi tetap utuh tak ada selembar kainpun yang
terbakar. Sejak saat itu makin banyak orang yang masuk agama Islam dan Syeh
Maghribi kemudian disebut Sunan Geseng.
Syeh Maghribi datang ke Tanah Jawa pada tahun 1404 dan wafat tahun
1465 M. Makamnya terletak di Jatianom, Klaten, Jawa Tengah.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia