iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 5 (Sunan Kalijaga)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 5.1 (Sunan Kalijaga)
Sunan Kalijaga


I. Asal mula nama Kalijaga


Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Sahid atau Said. Di dalam
BABAD TANAH JAWA ada yang menyebutnya Jaka Setya. Dia adalah putra Adipati
Tuban yang bernama Raden Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta ini
masih keturunan Adipati Tuban yang pertama yaitu Ranggalawe.
Silsilah keturunan Raden Said ialah: Adipati Ranggalawe atau Aria
Adikara, berputra Aria Teja I, berputra Aria Teja II, berputra Aria Teja
III, berputra Raden Tumenggung Wilatikta dan akhirnya berputra Raden Mas
Said atau Sunan Kalijaga.
Menurut sebuah sumber, Aria Teja I dan II ini masih memeluk agama
Syiwa (Hindu) sedang Aria Teja III dan Raden Tumenggung Wilatikta sudah
memeluk agama Islam.
Di masa muda, Raden Said termasuk salah seorang anak muda yang tidak
puas dengan keadaan di sekelilingnya. Pada waktu itu situasi kerajaan
Majapahit sedang memburuk. Banyak wabah penyakit merajalela akibat kemarau
panjang. Sedang rakyat jelata diharuskan membayar pajak yang mencekik leher.
Raden Said keluar dari Kadipaten Tuban, mengembara ke sebuah daerah
yang disebut Jatiwangi di daerah Lasem, Jawa Tengah. Raden Said merampok
para bangsawan yang berjalan melintasi hutan Jatiwangi. Hasil rampokan itu
dibagi-bagikan kepada fakir miskin, tidak pernah dimakan sendiri.
Pada suatu hari, dia melihat seorang lelaki tua berjubah putih
sedang berjalan di tengah hutan kekuasaannya. Raden Said memperhatikan orang
itu, terutama pada tongkat yang dibawa orang itu. Menurut penglihatan Raden
Said, tongkat yang dibawa orang asing itu gagangnya terbuat dari emas
berhiaskan berlian.
Raden Said tergiur melihat hal itu. Dengan kepandaian ilmu silatnya,
dia meloncat dan langsung menghadang orang itu.
"Serahkan tongkat itu kepadaku !" hardik Raden Said.
"Buat apa anak muda ?" tanya orang itu dengan wajah tenang. Raden
Said heran, biasanya orang yang hendak dirampok pasti gemetar ketakutan.
Tapi orang berpakaian serba putih itu tetap bersikap tenang.
"Tongkat berganggang emas dan berhiaskan permata," ujar Raden Said.
"Tentu harganya mahal. Aku akan menjualnya, akan kuberikan uangnya kepada
fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkannya."
"Hemm, sungguh kasihan," gumam orang itu. "Masih, begini muda sudah
sesat jalan. Sebenarnya niatmu baik sekali ingin menolong orang yang
menderita para fakir miskin dan sebagainya. Tapi jalan yang kau tempuh
kaliru. Kalau kau ingin menolong orang lain, ingin bersedekah, janganlah
bersedekah dari hasil merampok. Merampok atau mencuri haram hukumnya.
Carilah harta atau uang yang halal, dari hasil keringatmu sendiri."
"Ucapanmu juga baik sekali, orang tua," sahut Raden Said. "Tapi hari
ini aku tidak butuh ucapan dan nasehat, aku butuh tongkatmu. Serahkan
kepadaku atau aku akan merebutnya dengan paksa !"
"Kau menginginkan harta ?"
"Jangan banyak bicara ! Serahkan saja tongkat itu !" hardik Raden Said.
"Jika kau menginginkan harta, nah ! Ambillah itu ! Harta itu halal.
Kau boleh mengambil seberapapun kau mau !" kata orang tua itu sembari
menudingkan tangannya ke arah pohon aren.
Seketika pohon aren berubah menjadi emas berkilauan. Batang, buah
dan daun pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Raden Said tercengang
melihat kejadian itu.
Sadarlah Raden Said, dia sedang berhadapan dengan orang berilmu
tinggi. Serta merta Raden Said berlutut minta ampun dan mohon dijadikan
murid orang itu. Orang berjubah putih itu tidak lain adalah Sunan Bonang.
Sebenarnya, sudah lama Raden Said ingin berguru kepada orang yang berilmu
tinggi, dia ingin memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam.
Sunan Bonang tidak segera menjawab melainkan meneruskan
perjalanannya. Ringan saja tampaknya langkah Sunan Bonang, Raden Said
mengejarnya namun sungguh aneh, biarpun Raden Said mengerahkan seluruh
tenaganya untuk berlari cepat tetap saja dia tak mampu menyusul Sunan Bonang.
Sampai pada suatu ketika Raden Said melihat Sunan Bonang berjalan di
tepi sungai, dengan susah payah, nafas ngos-ngosan Raden Said akhirnya dapat
menyusul Sunan Bonang.
"Kanjeng Sunan... sudilah menerima saya sebagai murid," pinta Raden
Said.
"Menjadi muridku ? Mau belajar apa ? Ingin belajar menciptakan emas
dan permata ?" tanya Sunan Bonang.
"Tidak, Kanjeng Sunan, saya ingin memperdalam agama Islam." jawab
Raden Said.
Sunan Bonang diam beberapa saat. Sepasang matanya menatap tajam
kearah wajah Raden Said, kemudian orang tua itu menancapkan tongkatnya ke
tanah dan berkata kepada Raden Said, "Tunggu di tempat ini sampai aku kembali."
"Sendika dawuh, Kanjeng Sunan," jawab Raden Said dengan sangat hormat.
Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya, sepasang mata Raden Said
terbelalak heran, dia melihat Sunan Bonang menyeberangi sungai dengan
berjalan di atas air seperti berjalan di daratan saja.
Makin mantap tekad Raden Said untuk berguru kepada Sunan Bonang. Dia
segera duduk bersila di hadapan tongkat Sunan Bonang yang ditancapkan di
tepi sungai. Sedang Sunan Bonang sudah melanjutkan perjalanannya lagi.
Al kisah, Sunan Bonang terlupa kepada Raden Said yang disuruh
menunggui tongkatnya hingga berbulan-bulan lamanya. Begitu teringat pada
Raden Said, Sunan Bonang segera pergi ke sungai tempatnya dahulu beliau
menancapkan tongkat.
Ternyata Raden Said masih setia menunggui tongkatnya. Pemuda itu
duduk bersila seperti bertapa, seluruh tubuhnya dipenuhi akar semak belukar
dan dedaunan, rambut dan jenggotnya panjang terurai. Sunan Bonang
membangunkannya dengan suara adzan. Raden Said dibawa ke tempat tinggal
Sunan Bonang dididik dengan segala macam pengetahuan agama. Karena
kesungguhan hati dan ketekunannya, dia dapat menyerap dan mengembangkan ilmu
yang diterimanya dari Sunan Bonang. Raden Said tidak hanya berguru kepada
Sunan Bonang saja, atas anjuran Sunan Bonang sendiri beliau juga berguru
kepada Sunan Ampel, juga kepada seorang ulama terkenal di Palembang yaitu
Syeh Sutabaris.
Akhirnya Raden Said masuk menjadi anggota Wali Songo, sebutannya
adalah Sunan Kalijaga, karena beliau pernah menjaga tongkat Sunan Bonang di
tepi sungai.
Raden Said adalah satu-satunya wali yang paling akrab dengan
masyarakat Jawa. Dia lebih sering mengenakan pakaian sederhana yang biasa
dikenakan rakyat jelata ketimbang jubah serba putih seperti orang Arab. Dia
memanfaatkan kesenangan masyarakat Jawa sebagai sarana menyebarkan agama
Islam yaitu Wayang Kulit, Tembang dan Gending atau gamelan. Semua seni yang
mengalir dalam tubuhnya diberi nafas Islam, dijadikan alat dakwah sehingga
rakyat banyak yang menyukainya, baik dari kalangan atas maupun dari kalangan
bawah.
Bila sedang mendalang di Jawa Barat, dia menggunakan nama samaran Ki
Dalang Sida Brangti, bila mendalang di Tegal dia dikenal sebagai Ki Dalang
Bengkok dan bila mendalang di Purbalingga dia disebut Ki Dalang Kumendung.
Namanya banyak sekali, semua itu hanya untuk memudahkan penduduk sekitar
mengenalnya lebih akrab, sehingga masyarakat tidak merasa asing mendengar
namanya.


II. Sunan Bayat dan Syeh Domba


Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali jumlahnya, diantaranya
adalah Sunan Bayat dan Syeh Domba.
Dahulu Syeh Siti Jenar adalah anggota Wali Songo, namun karena dia
tersesat akhirnya dihukum mati oleh para wali. Sewaktu diadakan musyawarah
para wali, Sunan Kalijaga menunjuk Adipati Semarang sebagai pengganti Siti
Jenar. Para wali tercengang, karena Adipati Semarang bernama Ki Ageng
Pandanarang dikenal sebagai orang yang gila harta.
"Ki Ageng Pandanarang itu ibarat intan masih bercampur dengan
lumpur, saya akan mencoba membersihkan lumpur itu dari hati Ki Ageng
Pandanarang. Sudah saatnya dia berada di jalan Tuhan," kata Sunan Kalijaga
dengan penuh keyakinan.
"Memang benar, Ki Pandanarang adalah seorang Adipati yang terkenal,
bukan karena kekuasaannya di Kadipaten Semarang, tapi karena kekayaannya,
karena cintanya kepada harta dunia. Rumahnya cukup banyak dan besar-besar.
Ternak dan kuda hampir tak terbilang. Istrinya delapan orang, semuanya
cantik-cantik.
Walaupun urusan pemerintahan cukup banyak, Ki Pandanarang masih
sempat berdagang keluar masuk pasar. Ia pandai mencari barang dagangan murah
dan cerdik pula mencari saat yang tepat untuk menjual barang dagangannya
semahal-mahalnya.
Pendek kata Ki Pandanarang adalah orang yang sangat terkenal akan
kekayaannya, relasinya banyak, anaknya banyak, cucunya banyak, namun
kikirnya bukan main.
Pada suatu pagi, Ki Pandanarang masuk ke dalam pasar. Dia
berkeliling mencari barang dagangan, namun pagi itu tidak ada satupun barang
dagangan yang menarik hatinya. Dengan malas dia berjalan tanpa tujuan,
sampai akhirnya dia bertemu dengan penjual rumput di sudut pasar, rumput
alang-alang yang tampak segar, penjualnya seorang lelaki tua mengenakan
caping lebar.
"Pak tua, berapakah harga rumput alang-alang ini ?" tanya Ki
Pandanarang.
"Dua puluh lima keteng, Ki Ageng," jawab lelaki itu.
Ki Pandarang menerima harga itu tanpa ditawar lagi, harga itu sudah
sangat murah, karena rumput sepikul umumnya berharga empat puluh keteng.
"Baiklah, antarkan rumput ini ke rumahku." kata Ki Pandanarang.
Keduanya segera meninggalkan pasar menuju kadipaten. Sampai di rumah
harga dibayar dan Ki Pandanarang memesan lagi rumput untuk makanan ternaknya.
"Bisa Ki Ageng," kata lelaki itu. "Besok akan saya antar kemari."
Penjual rumput alang-alang itu pergi. Ki Pandanarang menyuruh
pelayannya untuk membuka ikatan alang-alang itu untuk dijemur dan dibuat
atap kandang kudanya. Pada waktu perintah itu dikerjakan, si pelayan
menemukan bungkusan kecil, diserahkannya bungkusan itu kepada Ki
Pandanarang. Bungkusan dibuka, ternyata berisi uang sebanyak dua puluh lima
keteng. Ki Pandanarang heran bercampur gembira.
"Untung benar aku hari ini," gumam Ki Pandanarang."Membeli rumput
tanpa mengeluarkan uang."
Esok harinya, sehabis makan pagi, Ki Pandanarang duduk di pendapa.
Dari jauh tampak penjual rumput datang. Ki Pandanarang heran, hari masih
pagi benar tapi lelaki itu sudah membawa dua keranjang penuh rumput-rumput
segar.
Seperti kemarin, rumput itu dibeli dengan harga dua puluh lima keteng.
"Sepagi ini kau sudah dapat membawa dua keranjang penuh rumput
segar. Di manakah rumahmu, Pak Tua ?" tanya Ki Pandanarang.
"Rumah saya jauh di gunung Jabalkat, Ki Ageng," jawab penjual rumput.
"Jauh sekali," gumam Ki Pandanarang . "Apakah kau mondok di Kota
Semarang ini ?"
"Tidak, Ki Ageng," jawab penjual rumput. "Pagi-pagi berangkat dan
sorenya pulang."
Lagi-lagi Ki Pandanarang heran. Orang itu berjalan jauh sekali hanya
untuk dua puluh lima keteng, dan kemarin dia tidak membawa hasil sama sekali
karena uangnya tertinggal di rumput alang-alang.
Setelah penjual rumput itu selesai mengeluarkan rumput dari
keranjangnya, Ki Pandanarang mengeluarkan uang dua puluh lima keteng, harga
rumput itu. "Untung aku hari ini," gumamnya. "Baiklah, antarkan rumput ini
ke rumahku," kata Ki Pandanarang.
Penjual rumput menerima uang itu kemudian berkata, "Terima kasih Ki
Ageng. Tapi bila Ki Ageng tidak berkeberatan saya minta sedekah. Sedekah
karena Allah."
Ki Ageng Pandanarang tidak menjawab melainkan melemparkan uang logam
seketeng ke arah penjual rumput. Uang jatuh di batu menimbulkan suara
berdencing.
"Saya tidak minta uang," kata penjual rumput. "Saya tidak suka harta
dunia. Saya minta sedekah berupa bedug berbunyi di Semarang."
"Alangkah sombongnya kau ini, Pak Tua," kata Ki Pandanarang. "Keteng
yang kuberikan itu adalah bagian dari real (uang perak) dan real bagian dari
dirham (uang emas). Kau minta bedug berbunyi di Semarang ini. Apakah itu
akan mendatangkan uang ?"
"Kau terlalu memuja dan mendewakan harga, Ki Ageng, itu tidak baik,"
kata penjual rumput. "Cinta harta hanya menjadi penghalang masuk surga.
Ingatlah Ki Ageng, orang tidak kekal hidup di dunia ini, akhirnya dia akan
mati dan kembali ke alam baka dan Ki Ageng tidak dapat membawa harta yang Ki
Ageng miliki. Tetapi kalau kita masuk surga kita akan kaya raya, apa yang
dikehendaki pasti tersedia."
Ki Pandanarang tersenyum mengejek sembari berkata, "Pak Tua yang
pandai berpidato, bicaramu seperti sudah pernah melihat surga saja. Coba
kalau Pak Tua tahu betul apa surga itu, tentu kaupun tidak akan menjual
rumput begini. Tidak minta hal-hal yang aneh seperti minta bedug berbunyi di
Semarang ini. Tentu kau betah tinggal di surga itu."
"Jangan menghina orang," kata penjual rumput. "Biarpun pekerjaan
menjual rumput tampak remeh tapi ini pekerjaan halal. Tidak menipu dan
memeras orang. Kalau saya menginginkan harta melimpah saya tak usah
berpayah-payah, cukup mencangkul sekali, tanah yang saya cangkul pasti
berubah menjadi emas."
"Bicaramu halus tapi sebenarnya kau sombong sekali Pak Tua," sahut
Ki Pandanarang. "Bisakah kau membuktikan ucapanmu yang pongah itu ? Kalau
kau dapat membuktikannya, aku akan berguru kepadamu !"
Ki Pandanarang kemudian memerintahkan pelayan untuk mengambil
cangkul dan disuruh memberikannya kepada penjual rumput.
Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul dan kemudian
diayunkan menghujam tanah, setelah tanah diangkat tiba-tiba berubah menjadi
emas berkilauan.
Ki Pandanarang ternganga, untuk beberapa saat lamanya dia menjublak
di tempatnya berdiri, tak bisa mengeluarkan suara sehingga dia tak
mengetahui bahwa penjual rumput itu sudah melangkah meninggalkan rumahnya.
Setelah sadar barulah Ki Pandanarang celingukan mencari lelaki si
penjual rumput tapi lelaki itu sudah nampak di kejauhan. Ki Pandanarang
mengejarnya.
"Tunggu... ! Tunggu Pak Tua... !" seru Ki Pandanarang.
Setelah dapat menyusul lelaki itu, Ki Pandanarang menjatuhkan diri
berlutut sembari berkata, "Ampun... ampunilah saya yang buta hati ini. Saya
mengakui bersalah karena menghina sesama manusia."
Orang itu menyuruhnya bangun. Ki Pandanarang tidak mau bangun
sebelum diterima menjadi muridnya, ia sudah bertekad ingin berguru kepada
orang itu. Apa saja perintah orang itu dia berjanji akan melaksanakannya.
"Kau sanggup menerima syaratnya ?" tanya lelaki itu.
"Hamba sanggup. Apa saja yang diperintahkan hamba akan turut." kata
Ki Pandanarang.
"Aku minta bukti kesanggupanmu," kata orang itu. "Pertama, jalankan
ibadah selama hidupmu. Dirikan masjid di Semarang. Serahkan hartamu kepada
yang berhak menerimanya. Orang yang berguru itu harus meninggalkan rumah
maka susullah aku ke Gunung Jabalkat itu ?"
"Bolehkah hamba bertanya, dimanakah Gunung Jabalkat itu ?"
"Kalau hamba boleh mengetahui, siapakah Tuan ini ?" tanya Ki
Pandanarang.
Orang itu membuka capingnya sembari berkata, "Namaku disebut orang
Sunan Kalijaga."
Ki Pandanarang terkejut setengah mati mendengar nama itu. Sunan
Kalijaga adalah salah seorang wali yang sangat terkenal akan ketinggian dan
kedalaman ilmunya. Namun Sunan Kalijaga segera memberi salam dan tubuhnya
tiba-tiba lenyap dari pandangan Ki Pandanarang.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia