iklan nuffnang

Kisah Wali Songo 1 (Syeh Maulana Malik Ibrahim)

Khamis, 3 Disember 2009 ·

Kisah Wali Songo 1 (Syeh Maulana Malik Ibrahim)
Syeh Maulana Malik Ibrahim


Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Syeh Maghribi datang ke Pulau Jawa
pada tahun 1404 M. Beliau menetap di sebuah desa Leran, termasuk wilayah
Gresik. Mula-mula hanya para pedagang dari Gujarat yang menjadi murid-murid
beliau. Tetapi makin lama makin banyak pula penduduk pribumi yang masuk
Islam dan menjadi pengikut beliau.
Orang-orang Jawa mengenal Syeh Maulana Malik Ibrahim dan
murid-muridnya sebagai orang berbudi pekerti halus dan sangat dermawan, suka
menolong rakyat yang menderita. Sebagaimana diketahui sejak Majapahit
ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk, kerajaan itu mengalami
kemunduran drastis. Bertahun-tahun dilanda perang saudara yang tak ada
hentinya. Akibat perang saudara itu rakyatlah yang paling menderita. Bahaya
kelaparan dan wabah penyakit melanda di mana-mana.
Pada saat demikian inilah Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Syeh
Maghribi berjalan mengelilingi desa-desa yang dilanda bencana bersama
murid-muridnya.
Di sepanjang perjalanan yang dilaluinya Syeh Maghribi menolong dan
memberikan sedekah kepada penduduk yang menderita. Pada suatu ketika
sampailah perjalanan beliau pada sebuah tanah lapang yang luas dan gersang.
Tak nampak hijaunya daun, pohon dan ranting-ranting menjadi kering karena
tak tersiram hujan.
Di tengah lapang, tampak ada sekelompok orang yang sedang
mengelilingi dua orang yang sedang berlaga. Keduanya mengenakan celana
sebatas lutut dan bertelanjang dada. Masing-masing memegang penjalin (rotan)
sepanjang dua meter dan secara bergantian memukulkan rotan itu keras-keras
ke punggung masing-masing.
Punggung keduanya sudah banyak yang melepuh dan mengeluarkan darah
hitam, namun keduanya masih tampak tegar saja memukulkan rotan itu ke arah
punggung lawannya berkali-kali.
Kira-kira sepenanak nasi kemudian upacara yang disebut Ujung itu
dihentikan. Kedua orang yang berlaga sama terkapar di atas tanah,
punggungnya babak belur bersimbah darah. Seseorang berpakaian pendeta warna
kuning maju ke depan. Orang itu bertampang dekil, memegang tongkat hitam.
Orang itu, yang agaknya pemimpin orang-orang yang sedang berkumpul, segera
memerintahkan dua orang lelaki bertubuh kekar untuk menyeret dua orang yang
tadi bermain ujung.
Si pendeta dekil kemudian mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi
sembari berkata, "Kemarikan gadis itu !"
Seorang gadis cantik, usianya sekitar delapan belas tahun,
pakaiannya serba putih dan sejak tadi dicekal dua lelaki bertampang seram,
segera dibawa ke tengah lingkaran, menuju sebuah altar yang tersusun dari
bongkahan batu. Gadis itu meronta-ronta, wajahnya menunjukkan ketakutan.
Namun tenaganya kalah kuat dengan kedua orang lelaki yang memaksanya diatas
altar.
Syeh Maghribi makin tertarik. Dia dan kelima muridnya makin
mendekati kerumunan orang itu. Si pendeta dekil mendongak ke langit sembari
mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi.
"Oh, Dewa Hujan... ! Terimalah persembahan kami, hentikan kemarau
panjang ini... ! Curahkanlah limpahan airmu ke bumi kami yang gersang ini...
!" demikian teriak si pendeta dekil berkali-kali.
Kemudian si pendeta dekil mendekati wajah si gadis cantik sembari
berkata, "Hai Perawan Suci... ! Serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa
Hujan. Pengorbananmu tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini... !"
"Ja... jangan... aku tidak mau... !" rintih gadis itu dengan suara
gemetar ketakutan.
"Diam !" bentak dua lelaki bertampang seram yang masih memegangi
tangan dan kaki si gadis. Wajah si gadis langsung mengkeret pucat pasi.
"Ayo kita mulai... !" kata si pendeta dekil sembari melemparkan
tongkatnya. Dia mencabut sebilah belati dari balik bajunya, sementara dua
lelaki bertampang seram mempererat pegangannya pada tangan dan kaki si gadis
yang mulai meronta-ronta.
Pendeta dekil mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Tepat di atas
jantung si gadis. Terik cahaya matahari membuat pisau itu tampak makin tajam
berkilat-kilat. Si gadis terbelalak ketakutan, mulutnya dibungkam sehingga
berteriakpun dia tak mampu.
Pada waktu si pendeta dekil hendak menancapkan belatinya ke jantung
si gadis, tiba-tiba terdengar bentakan halus.
"Tungguuuuuu... !"
Pendeta dekil tak menghiraukan suara itu. Tangannya terus meluncur
ke bawah, ke arah jantung si gadis. Namun sungguh aneh, ketika ujung belati
itu hampir menyentuh kulit si gadis tiba-tiba tertahan sebuah kekuatan
dahsyat yang tak tampak oleh mata.
Pendeta itu penasaran, dikerahkannya seluruh kekuatan untuk
menghujamkan belatinya ke jantung si gadis, namun mendadak tenaganya seperti
punah. Pendeta itu mundur beberapa langkah, matanya nyalang menatap ke
sekeliling.
Semua orang merasa heran atas kejadian itu. Mata si pendeta dekil
tertumbuk pada Syeh Maghribi dan kelima muridnya yang berdiri di belakang
kerumunan orang.
"Kau !" kata si pendeta dekil sembari menudingkan jarinya, "Mau apa
kau menghentikan upacara persembahan kami, heh ?"
Syeh Maghribi dan kelima orang muridnya maju ke tengah lingkaran.
"Maaf Kisanak" ujar Syeh Maghribi. "Kalau saya boleh tahu untuk apa
gadis itu dikorbankan ?"
"Sudah jelas !" sahut pendeta dekil "Gadis itu dikorbankan kepada
Dewa Hujan agar kemarau panjang ini segera berakhir."
"Sudah berapa kali Kisanak melakukan upacara seperti ini ?"
"Sudah dua kali," jawab si pendeta.
"Jadi sudah dua nyawa melayang sia-sia ?" sahut Syeh Maghribi.
"Pengorbanan mereka tidak sia-sia, juga pengorbanan gadis ini."
tukas pendeta dekil.
"Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi, hujan sudah pernah
turun ke desa ini ?" tanya Syeh Maghribi.
Pendeta dekil tidak segera menjawab tapi orang yang berkerumun tanpa
dapat dicegah lagi menjawab dengan serentak,"Beluuuum... !".
Wajah pendeta dekil tampak beringas mendengar jawaban para
pengikutnya sendiri itu. Dengan lantang ia berkata, "Hujan belum turun
karena pengorbanan baru dilakukan dua kali. Pengorbanan dianggap belum
lengkap oleh Dewa Hujan. Kalau kita melakukan pengorbanan sekali lagi maka
hujan akan turun dengan segera."
"Bagaimana kalau nyawa gadis ini dihabisi sebagai pengorbanan ketiga
tapi hujan masih belum turun juga ?" tanya Syeh Maghribi.
Wajah pendeta dekil makin beringas. Dia memberi isyarat kepada dua
orang lelaki bertampang seram. Dan kedua lelaki yang agaknya adalah pengikut
setia sang pendeta langsung bergerak. Keduanya bermaksud menghajar Syeh
Maghribi.
Sungguh aneh, kaki keduanya tiba-tiba kejang tanpa ada sebabnya.
Keduanya menggerung-gerung sambil memegang pahanya.
"Kau bermaksud menantang kami, hai orang asing ?" bentak pendeta
dekil dengan penasaran sekali. "Kau sengaja mengganggu upacara kami !"
"Saya tidak bermaksud mengganggu," kata Syeh Maghribi. "Saya dan
kelima murid saya bermaksud menolong orang-orang desa ini."
"Puih !" si pendeta dekil meludah sambil bertolak pinggang "Apa yang
dapat kau berikan kepada kami ?"
"Apa yang kalian inginkan ?" Syeh Maghribi balas bertanya.
"Hujan... ! Kami minta hujan !" jawab orang-orang yang sedang
berkerumun itu.
"Cuma hujan ?" tanya Syeh Maghribi.
"Ya, coba turunkan hujan kalau kau bisa !" tukas pendeta dekil.
"Kalau kau tidak bisa kami semua akan membunuhmu karena kau berani
mengganggu upacara kami !"
"Jika Allah mengijinkan maka hujanpun akan segera turun," kata Syeh
Maghribi dengan wajah tenang.
"Allah ?" tanya pendeta dekil. "Siapa Allah ? Mengapa minta ijin
segala kepadanya ?"
"Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan seluruh
alam jagat raya ini." ujar Syeh Maghribi.
"Sudah, jangan banyak bicara." kata pendeta dekil. "Kalau memang
bisa menurunkan hujan lekas lakukan !"
"Boleh saja," kata Syeh Maghribi. "Tapi dengan syarat. Kalau kami
bisa menurunkan hujan maka kalian harus membebaskan gadis itu."
"Untuk apa ?" sahut pendeta dekil. "Kedua orang tua gadis itu sudah
mati, dia tidak punya sanak dan kadang, sudah pantas kalau dia dikorbankan
kepada Dewa Hujan."
Syeh Maghribi menghadap ke arah kerumunan orang kemudian bertanya,
"Kalau kami dapat menurunkan hujan, maukah kalian membebaskan gadis itu ?"
"Mauuuuuu... !" jawab orang-orang itu dengan serentak.
"Terima kasih," ujar Syeh Maghribi dengan perasaan lega.
Syeh Maghribi kemudian mengajak murid-muridnya melaksanakan shalat
istisqo' atau shalat sunnah minta hujan. Tidak beberapa lama setelah beliau
dan murid-muridnya melakukan shalat istisqo' tiba-tiba langit menjadi hitam
oleh mendung yang bergerak perlahan-lahan. Sesaat kemudian hujan turun
dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang.
Semua orang yang berkumpul di tempat itu bersorak sorai kegirangan.
Hanya pendeta dekil dan dua lelaki bertampang seram itu sajalah yang berdiam
diri dalam keangkuhannya.
"Sihir ! Kalian pasti menggunakan sihir !" tuduh pendeta dekil
kepada Syeh Maghribi.
Syeh Maghribi menghampiri pendeta dekil sambil berkata sopan,
"Kisanak, sihir itu terlarang bagi kami orang Islam. Hujan ini bukan sihir,
melainkan karunia dari Allah yang menciptakan langit dan bumi."
Agaknya pendeta dekil tak mau mengakui kenyataan. Dia memberi
isyarat kepada dua orang pengikut setianya. Mereka bertiga kemudian
meninggalkan tempat itu.
Ketika hujan mulai reda, orang-orang yang bersorak-sorai kegirangan
serentak menjatuhkan diri berlutut di hadapan Syeh Maghribi dan kelima
muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir saja menjadi korban upacara
sesat.
"Bangun Kisanak semua !" ujar Syeh Maghribi, "Kita tidak boleh
bersujud kepada semua makhluk. Aku hanya manusia biasa seperti kalian juga."
Setelah mendengar ucapan Syeh Maghribi, orang-orang itu pun segera
bangkit dan dengan teratur rapi mereka duduk bersila. Salah seorang di
antara mereka yang sudah berusia lanjut berkata,"Kami menghaturkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami
menurunkan hujan yang telah lama kami nantikan. Bolehkah kami belajar tata
cara menurunkan hujan seperti yang Tuan lakukan tadi ?"
"Ya, ajarkan kepada kami cara minta hujan yang tanpa menjatuhkan
korban manusia," sahut orang-orang lainnya.
Syeh Maghribi tersenyum arif. Orang-orang desa itu rupanya sudah
menaruh simpati kepadanya. Rasa simpati itulah yang menjadikan modal utama
untuk memperkenalkan agama Islam kepada mereka.
"Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti yang telah kami
lakukan," kata Syeh Maghribi, "Maka kalian harus mengenal lebih dahulu agama
Islam. Maukah kalian ?"
"Mauuuuu... !" jawab orang-orang itu serentak.
Bila sudah demikian cukup mudah bagi Syeh Maghribi untuk mengajak
mereka masuk Islam. Tinggal memberikan pengetahuan agama sesuai dengan porsi
atau dosis yang harus mereka ketahui sebab mereka orang awam. Itulah
sebabnya wali lebih banyak mengutamakan ketinggian akhlak dan budi pekerti
mulia yang diajarkan dalam Al Qur'an dan Hadits Nabi. Justru karena
keramahan, kedermawanan dan sifat welas asih yang diperlihatkan para wali di
Tanah Jawa itulah yang jadi daya pesona sehingga berbondong-bondong orang
Jawa masuk Islam.
Syeh Maghribi atau Syeh Maulana Malik Ibrahim meninggal dunia pada
tahun 822 H atau tahun 1419 M, makamnya terletak di sebelah utara Pabrik
Semen Gresik, Jawa Timur.
Semoga amal dan perjuangan beliau diterima di sisi Allah. Amin.

0 ulasan:

iklan etoro

iklan paypal

Pilih Siaran radio anda

 

 

klik "STOP" untuk hentikan siaran radio. Semoga terhibur.

Mengenai Saya

Foto saya
Bandar jengka, pahang, Malaysia